Rabu, 22 Oktober 2008

80 persen wartawan tidak baca kode etik

80 persen wartawan tidak baca kode etik

Sekitar 80 persen wartawan di Indonesia diduga tidak pernah membaca kode etik jurnalistik. “Banyak wartawan yang tidak tahu Undang-Undang Pers,” kata Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Abdullah Alamudi.

Hal itu, menurut dia, sering kali menimbulkan pelanggaran jurnalistik. Masyarakat diminta menegur wartawan dan perusahaan media yang melanggar.

Abdullah mengaku komisinya menerima sekitar 20 pengaduan masyarakat setiap bulan. “Umumnya soal pencemaran nama baik.”Ke depan, seluruh wartawan Indonesia disertifikasi. “Mekanismenya sedang kami bahas,” katanya. [Koran Tempo edisi 4 Agustus 2008]

Berikut Blog Berita mengutip dari Dewan Pers isi kode etik wartawan [setelah direvisi] yang disepakati 29 organisasi profesi wartawan pada 14 Maret 2006. Kode etik ini berlaku secara umum bagi wartawan Indonesia. Sementara setiap organisasi wartawan juga punya kode etik masing-masing.

Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

  • Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
  • Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

BLOG BERITA: Selain masalah amplop [suap], kasus pelanggaran etika yang paling sering dilakukan wartawan dan media adalah plagiat. Sering wartawan menjiplak bulat-bulat artikel hasil liputan wartawan lain dan mengirimkannya ke redaksi seolah-olah sebagai karyanya sendiri. Wartawan juga sering memakai foto hasil jepretan orang lain tanpa menuliskan kredit foto atau hak cipta si fotografer, bahkan tak jarang si wartawan berani membuatkan kredit foto atas namanya sendiri.

Redaktur media, terutama koran-koran daerah, hampir setiap hari mengutip berita dari situs Internet seperti Detikcom tanpa menuliskan sumber kutipannya Detikcom, melainkan cuma dibuat “Int” [singkatan dari Internet] atau “Dtc” [konon singkatan dari Detikcom] — padahal redaksi Detikcom sendiri sudah pernah menegaskan bahwa media online itu tidak pernah punya singkatan Dtc. Kasusnya berbeda dengan singkatan kantor berita AFP dan AP yang memang merupakan inisial resmi.

Khusus dalam hal kutip-mengutip ini aku melihat secara umum blogger lebih beretika ketimbang media konvensional; blogger biasanya patuh menuliskan sumber kutipan plus tautan ke media sumber bila ada tautan Internetnya.

Selasa, 19 Februari 2008

SIASAT PEMBERITAAN

Tim yang solid, sinergi redaksi, pemasaran, iklan dan event organizer. Perkuat brand, dominasi pasar sehingga menjadi trend setter dan price maker. Biarkan pesaing lelah dan bunuh diri. Diferensiasi dan konsistensi kualitas produk atau berita-berita yang disuguhkan kepada pembaca.

PERSAINGAN MASA DEPAN

Persaingan grup: koran Jakarta merambah daerah edisi khusus dan suplemen. Kompetitor modal kuat, SDM handal dan strategi pemasaran yang jitu.
Media Online & Koran Digital : Waktu membaca makin singkat, televisi dan internet, komunitas blogger, media online, fasilitas hot spot, koran online dan koran offline.
Fenomena Koran Gratis : andalkan iklan, efisiensi biaya produksi dan ongkos cetak.

APA YANG HARUS DILAKUKAN

Kualitas. Redaksi tidak boleh arogan dan kena penyakit megalomania.
Kompetitor memperbesar pasar. Perlu koran kedua (fighting brand) dan diferensiasi.
Selalu di depan (one step a head) Lakukan sesuatu yang istimewa. Dept news dan investigasi, foto yang bicara.

Solid dan kompak.

Redpel harus tegakkan disiplin, membina redaktur, perencanaan berita, lay-out dan perwajahan.

Manajemen Keredaksian

Wajah Media Cermin Manajemen Redaksi

Redaksi perlu tata kelola demi mencapai hasil yang maksimal dan efektif.
Redaksi yang dikelola dengan baik menghasilkan produk yang berkualitas, standar terjaga, serta tanggap perkembangan.
Wujudnya berupa sajian berita yang tepat sasaran dan menarik pembaca, baik secara isi maupun penampilan.
Manajemen Struktural

Mengefektifkan fungsi masing-masing struktur dalam redaksi, yakni pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, koordinator liputan, redaktur senior, redaktur, asisten redaktur, dan wartawan. Juga memanfaatkan secara maksimal fungsi supporting redaksi, seperti artis grafis, layout person, dan copy editor. Memanfaatkan potensi besar pasokan berita dan foto dari JPNN.

Setia Fungsi Masing-Masing


Pemimpin redaksi mengarahkan policy pemberitaan, menjaga kualitas dan standar, serta memanajemeni waktu (deadline).
Redaktur pelaksana menerjemahkan policy besar redaksi ke dalam kebijakan masing-masing kompartemen, memberi ide segar, serta menjaga standar kualitas.
Di Jawa Pos, redaktur pelaksana ada enam orang yang kurang lebih disertai sebagai supervisor kompartemen halaman. Fuad Ariyanto menyupervisi Metropolis, Leak Koestiya menyupervisi bidang perwajahan, Taufik Lamade halaman nasional dan olah raga, Tofan Mahdi untuk berita ekbis, Kurniawan Muhammad menyupervisi halaman Jatim, dan Iman Syafi’i mengelola biro Jakarta.


Setia Fungsi Masing-Masing (2)

Koordinator liputan menjamin berfungsinya semua lini redaksi untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Di Jawa Pos, KL berfungsi merekomendasi serta mengadministrasi penugasan wartawan dalam liputan besar (misal, ke luar negeri), juga rekrutmen. KL juga berdialog dengan jajaran pemasok berita JP, yakni Radar dan grup.
Redaktur menerjemahkan policy keredaksian di masing-masing halaman yang dipegangnya berdialog intensif dengan wartawan di lapangan.
Wartawan bertugas mengumpulkan data selengkap-lengkapnya untuk pemberitaan, serta menjaga koordinasi dengan redaktur. Wartawan selalu dianjurkan melaporkan peristiwa besar kepada redaktur saat masih di lapangan, sehingga bisa berita bisa dikembangkan oleh wartawan lain.

Rapat Itu Penting

Proses produksi berita bisa dimulai kontak personal antara redaktur dan wartawan atau antar-redaktur untuk mengelola berita. Meski begitu, rapat bersama tetap penting. Sebagai tempat berbagi ide, rapat juga bisa menjadi “otak” perencanaan. Yang tak kalah penting, rapat juga berfungsi mengontrol kualitas koran. Termasuk di sini, apabila ada indikasi berita yang menyimpang atau menyalahi etik dan hukum.

Semua Halaman Penting

Setiap halaman adalah penting dan harus digarap dengan kreatif dan semenarik mungkin.
Mutasi ke halaman lain harus dibiasakan dan tour of duty biasa.
Halaman etalase atau halaman dalam harus sama-sama kelas A.

Siang Rapat, Sore Rapat

Di Jawa Pos, rapat diadakan dua kali. Yakni, jam 11.00 siang oleh para redaktur kompartemen dan desk secara bergiliran. Yang kedua, juga oleh wakil redaktur tiap kompartemen dan desk, pukul 17.00 untuk bujeting berita, mengarahkan pemberitaan, atau koordinasi pemuatan.



Awas Salah Berantai!

Rapat memelototi detil koran, termasuk penempatan tanda baca. Mendiskusikan ide-ide pemberitaan, termasuk pengembangan peristiwa. Rapat menjaga, agar para redaktur terus waspada terhadap kemungkinan pemberitaan yang salah. Karena, berita yang salah bisa-bisa sudah diduplikasi di media-media Jawa Pos Group. Untuk meralat secara masal, rasanya, sulit. Jawa Pos akan menerapkan kode redaktur juga dicantumkan di akhir berita, setelah kode wartawan, untuk mempertegas tanggung jawab.

Software untuk Cek Berita

Untuk mempersempit kesalahan, Redaksi JP segera menerapkan software berupa check list tuk mengecek pemberitaan. Isinya berupa pertanyaan kepada wartawan, redaktur, dan copy editor. Sebelum mereka mengklik ’’ya’’ dalam check list itu, berita belum bisa dikirim.
Pertanyaan Software Check List

1. Pertanyaan untuk wartawan:
Apakah berita yang Anda tulis sudah:
Lengkap dan akurat?
Terkonfirmasi dan berimbang?
Dibaca ulang?

2. Pertanyaan untuk redaktur:
Apakah berita yang Anda edit sudah:
Layak, lengkap, dan akurat?
Terkonfirmasi dan berimbang?
Memperhitungkan etik dan risiko hukum?

3. Pertanyaan untuk copy editor:
Apakah berita yang Anda edit sudah:
Tak ada salah tulis?
Tidak ada salah eja, termasuk istilah asing?
Benar dan logis secara struktur kalimat?

Mematuhi Etik Demi Kita Sendiri

Banyak diskusi serius yang pernah dilakukan di Jawa Pos dalam rapat tentang etik, misalnya: Soal cover both sides (apakah harus sama porsinya). Penulisan nama tersangka (siapa yang layak dinisial dan tidak) Bagaimana pemuatan foto anak-anak yang terjebak dalam peristiwa buruk (orang tuanya penjahat, hasil hubungan gelap, hasil pemerkosaan), misal kasus anak-anak TKI. Teknik memberitakan tersangka ditembak polisi (yakinkah polisi bisa menembak tepat saat tersangka lari?). Tradisi menulis “Orde Baru” yang masih tersisa, misal Kapolsek mendampingi Kapolres (padahal tidak).


Penilaian dalam Rapat

Rapat berfungsi sebagai penularan antar-redaktur, agar kemampuan mereka makin standar. Rapat juga berfungsi sebagai penilaian dan evaluasi halaman. Lebih nyaman menilai diri sendiri daripada dinilai oleh atasan.
Penilaian menjadi dasar tunjangan profesi (TP) dan penilaian prestasi tahunan. Kehadiran dalam rapat termasuk menjadi komponen penilaian TP, karena bisa menjadi indikator kepedulian pada produk.

Bila Berita Bermasalah

Redaktur atau wartawan akan berusaha sedapat mungkin persoalan pengaduan, protes, somasi, atau ancaman gugatan dengan cara berdialog langsung dengan orang yang bersangkutan. Bila tidak menemui titik temu akan dibicarakan dengan ombudsman untuk diteliti. Contoh, kasus Rizal. Laporan polisi atau pengadilan sedapat mungkin dihindarkan, karena akan merepotkan kedua belah pihak. Kasus Risang dan kasus gugatan M Amin sebagai contoh. Penjatuhan sanksi didasarkan atas rekomendasi ombudsman atau keputusan redaksi.

membuat berita yang beda

Dari Mana Berita Berasal?

1. Kejadian yang berlangsung alamiah (bencana alam,
kecelakaan,pembunuhan, dll)

Kejadian yang tak terencana tak jarang menjadi berita besar. Sebuah kecelakaan kereta api di perlintasan tengah kota, dengan korban puluhan orang, beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota. Hanya dalam hitungan menit, warga kota sudah mendengar berita itu, baik melalui radio maupun breaking news televisi.

Bagiamana dengan koran yang baru terbit esok hari? Untuk mencari informasi lengkap, tak jarang warga menunggu koran. Agar koran tetap dibaca, maka wartawan harus mencari sisi lain yang tidak ada dilokasi kejadian. Misalnya, mendatangi keluarga korban dan mengorek kisah dari orang-orang dekatnya. Juga mencari tahu tentang kelayakan kereta yang beroperasi itu, dan kereta-kereta sejenisnya.

Begitu pula dengan kejadian pembunuhan. Pada saat kejadian, kebanyakanwartawan hanya terfkus di lokasi kejadian. Padahal mestinya, merekaharus segera bergerak mencari tahu lebih jauh dari sekadar yang ada diTKP. Sekali lagi, orang-orang dekat korban akan sangat membantu dalammemperkaya data.

2. Kegiatan terencana
(rapat, konferensi pers, dll)


Sumber berita yang paling jelas adalah jadwal acara sehari-hari yangterjadi di sebuah kota. Mulai dari rapat pemerintah, rapat DPRD,pembukaan bisnis, komunitas, dan konferensi pers. Daftar acara sepertiitu biasanya bukan otomatis menjadi berita menarik. Tapi, akan lebih baikbila acara semacam itu menjadi titik awal dari sebuah berita menarik.

Wartawan yang sudah bertahun-tahun meliput di sebuah intitusi, akandengan mudah mengembangkan berita dari sebuah rapat dewan atau rapatpejabat. Bahkan dari sebuah jumpa pers, wartawan bisa mengembangkannyalebih jauh dari sekadar yang disampaikan pemilik acara (isi jumpa perspasti hanya hal-hal positif dari pemilik acara).

Pelajaran pertama watawan Jawa Pos, ketika menghadiri jumpa pers,biasanya akan mengikuti apa adanya. Tapi, setelah selesai, merekamemiliki kewajiban mengejar lebih jauh. Pertanyaan-pertanyaan kunciharus disimpan, kemudian ditanyakan sendiri, ketika yang lain sudah pergi.

Kejadian terencana lain, seperti unjuk rasa juga bisa menjadi berita.Tapi, wartawan harus hati-hati dengan kemungkinan dimanfaatkan olehorang-orang yang memiliki agenda di balik aksi itu.

3. Upaya wartawan

Tak ada kejadian bukan berarti tidak ada berita. Inisiatif dan kerja keras wartawan tak jarang justru menghasilkan berita bagus.
Usaha-usaha seperti membuka buku APBD atau dokumen-dokumenpembangunan daerah, akan menghasilkan berita menarik.
Ketelatenan wartawan untuk mendatangi tempat-tempat pelayanan umum (pembuatan KTP, kantor imigrasi, BPN, dll) pasti akan menghasilkan tulisan eksklusif.

Bila sedang tidak ada acara, tidak ada salahnya jika wartawan maukeliling kota untuk menghitung pohon yang mati mengering. Ataumenghitung papan reklame yang tumbuh tak terkendali.

Bagaimana Agar Beda?
1. Menjaga independensi (tidak terkooptasi, tidak berhubungan dengan iklan)
2. Memiliki keberanian dan keinginan kuat untuk membuat berita yang beda(mau capai dan berkeringat)
3. Kaya trik (menyusup, menyamar, melakukan sendiri)
4. Banyak membangun jaringan (penyuplai data tak jarang dari jaringan ini)
5. Memiliki data kuat
6. Visi wartawan dan redaktur harus sama
7. Tahan terhadap tekanan dari luar (cemoohan, ejekan bisa jadi penambahsemangat)
8. Mau keluar uang (sekadarnya)
9. Wartawan dan redaktur membuat perencanaan bersama